,

Sengketa Lahan 52 Hektare Pangalengan: Eksepsi PT Ultrajaya Ditolak, Gugatan Ahli Waris Berlanjut

oleh -58 Dilihat
oleh
Bandung, 6 Agustus 2025 (Tabera.id) – Sidang sengketa lahan antara ahli waris keluarga Raden Moelya Wiranatakusoemah dan Nyimas Momoh Sari melawan PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk (Ultra Peternakan Bandung Selatan/UPBS) memasuki babak baru. Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bale Bandung menolak eksepsi yang diajukan PT Ultrajaya, sehingga gugatan berlanjut ke tahap pembuktian.

Perkara dengan nomor registrasi 123/Pdt.G/2025/PN Blb ini menyangkut tanah seluas 520.890 meter persegi di Desa Margamekar dan Desa Pulosari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Gugatan dilayangkan Raden Tino Susena pada 23 April 2025 dengan dasar kepemilikan Eigendom Verponding Nomor 751 Tahun 1933 yang menyebut lahan tersebut milik keluarganya.

Dalam proses mediasi pada Juni 2025, pihak penggugat dan kuasa hukum hadir penuh, sementara tergugat hanya hadir terbatas dan turut tergugat tidak pernah hadir, sehingga mediasi dinyatakan gagal. Sidang kemudian berlanjut ke agenda pokok perkara, namun pihak tergugat beberapa kali meminta penundaan.

Kuasa hukum penggugat dari Huta-Huta & Partners, Advokat Farhan Ch., SE, SH, MH, menyambut baik putusan sela tersebut. “Alhamdulillah, eksepsi ditolak. Kami berharap proses pembuktian dapat berjalan transparan dan menghadirkan keadilan bagi klien kami,” ujarnya.

Dalam gugatannya, penggugat menuntut PT Ultrajaya membayar sewa lahan selama 16 tahun sebesar Rp16 miliar, serta pelepasan hak atas lahan tersebut dengan nilai Rp104,178 miliar. Selain itu, mereka meminta pemblokiran Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 15723 yang diterbitkan BPN Jawa Barat karena dinilai cacat hukum. Permohonan pemblokiran resmi telah diajukan ke ATR/BPN Jabar sejak 2 Juli 2025.

Sengketa ini juga menyoroti persoalan klasik pertanahan di Indonesia, terutama lemahnya sistem administrasi yang dinilai rentan manipulasi. Publik mempertanyakan bagaimana sebuah perusahaan besar bisa menguasai lahan seluas 52 hektare selama 16 tahun tanpa dokumen kepemilikan yang sah, serta mempertanyakan kinerja Kementerian ATR/BPN dalam menerbitkan HGU.

Kasus ini diharapkan menjadi momentum perbaikan sistem pertanahan dan memperkuat perlindungan hak masyarakat atas tanah di masa mendatang.(Red/nR)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *